This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

[Kesehatan] Butuh Kecerdasan Perilaku untuk Menyelesaikan Tugas

Butuh Kecerdasan Perilaku untuk Menyelesaikan Tugas
Jadigitu.com ~ Teman saya dikenal sebagai seorang yg sangat gesit. Dia hadir di tiap launching produk ponsel baru, dan selalu mendapatkan produk sesuai kemauannya. Dalam konser-konser musik kesukaannya, dia sering tersorot di pemberitaan karena selalu berdiri paling depan di area festival.
Dalam bekerja ia hampir tak pernah menolak tugas dan seolah tahu dgn jelas apa yg ia inginkan. Ia pun mengerjakan tugasnya secara cepat, dgn kualitas yg baik, bahkan hampir sempurna. Tidak heran, bila teman lain menyebutnya sebagai si “serba bisa”. Bayangkan betapa “bernilai”-nya individu seperti ini.
Dalam situasi lain, kita sering menemukan orang-orang yg seolah-olah tak "kepikiran" mengenai apa yg harus dilakukan, meskipun sudah punya pengalaman puluhan tahun. Ada yg jelas-jelas punya wewenang dan tanggung jawab yg tinggi di perusahaan, tapi terlihat seolah melimpahkan semua pelaksanaan pd orang lain / "ahli"-nya, seakan lupa bahwa eksekutif itu adlh ahli eksekusi.
Bila kita dengarkan baik-baik, biasanya mereka mempunyai analisa yg benar, bahkan tak jarang menunjukkan pengetahuan, argumentasi yg cemerlang. Hanya saja, ketika berbicara soal pelaksanaan, bahkan yg sangat sederhana, pembicaraan mulai berputar-putar, dan mereka seolah-olah "gelap" dlm membuat action plan dan kerangka waktu.
Teori yg kuat langsung terasa mentah bila individu tak dpt menentukan prioritas, memilih hal apa yg akan dilakukan terlebih dulu, mana yg harus dipelajari, dan mana yg boleh disisihkan. Ujung-ujungnya kita menyebut individu seperti ni sebagai "omdo" (baca: omong doang), tak "walk the talk", bahkan sebagai "pendekar teori". Lebih tajam lagi, pimpinan perusahaan pun kemudian mempertanyakan: ”Bisa ‘kerja’ tak sih, orang ini?”
Apa sebetulnya yg membedakan orang yg "ahli eksekusi" dgn yg tidak? Kapasitas ni jelas tak tergantung posisi, pangkat, wewenang dlm organisasi, jg latar belakang tugasnya. Kita bisa melihat individu dgn latar belakang pendidikan sekretaris, biasanya tak kehilangan kompetensinya untk "melaksanakan" tugas tertentu. Sementara, banyak jg CEO yg tetap memimpin rapat eksekusi, memutuskan strategi tindakan, menentukan prioritas apa yg difokuskan. Jadi, perbedaannya adlh pd "behaviour intelligence"-nya.
Orang dgn behaviour intelligence tinggi biasanya tak sulit untk menindaklanjuti, bahkan menuntaskan tugas. Mereka menganggap tugas yg belum tuntas sebagai utang. Begitu kuat akuntabilitasnya terhadap tugas, sehingga otomatis cara berpikirnya jadi efektif dan "time management"-nya pun kuat.
Aspek inteligensi ni tak sama dgn "Emotional Intelligence" yg banyak dibahas orang, karena behavior intelligence ni adlh sekumpulan ketrampilan dan kemampuan untk menseleksi, mengeksekusi, dan memilih tindakan yg tepat untk mengelola suatu situasi, baik sosial maupun yg bersifat proyek non-manusia.
Orang dgn inteligensi emosi tinggi cirinya adlh "smart with people", sementara orang dgn "behaviour intelligence" tinggi, tahu cara menyelesaikan tugas, baik itu yg melibatkan orang / tidak. Jadi, emotional intelligence bisa "embedded" di dlm behaviour intelligence, tetapi tak semua orang ber-EQ tinggi otomatis memiliki behaviour intelligence yg tinggi.
Operational excellence
Banyak situasi yg membutuhkan "operational excellence" dari individu, apalagi bila ia seorang di posisi pimpinan. Penanggulangan banjir, jebolnya tanggul, tak bisa diselesaikan dgn berteori, tapi hanya bisa ditempuh dgn mengerahkan tenaga fisik dan tangan. Di sini kemampuan mengambil keputusan, mengambil tanggung jawab atas komando, instruksi dan komunikasi, memegang peranan penting.
Inilah keahlian yg berdasarkan kapasitas “behaviour intelligence”. Orang dgn behaviour intelligence tinggi, mempunyai kapasitas operasional yg kuat. Waktu, tindakan, keputusan, menjadi komoditi di dlm pemikirannya. Ia pun peka deadline. Bahasanya "bahasa waktu”. Contoh: ”Dalam waktu 24 jam, tanggul ni harus kita tutup.”
Biasanya meeting-meeting yg mereka adakan efektif, langsung berbahasa action, dan langsung menunjuk “person in charge”-nya. Mereka jg sangat yakin bahwa semua pekerjaan tak bisa diselesaikan sendirian. Bahasa "kita" biasa digunakannya. Orang seperti ni tak berkutat pd egonya, tetapi lebih terobsesi menyelesaikan tugas. Bagi mereka, sikap terhadap manusia tak sulit dikembangkan, karena seseorang dgn "operational excellence" tahu harga manusia lain, yg bisa diajak bekerjasama dlm penyelesaian tugasnya.
Saat ini, manajer-manajer di lingkungan organisasi besar, banyak yg dikursuskan untk belajar bagaimana mengeksekusi suatu strategi, seolah-olah, eksekusi adlh suatu barang langka. Ya, kemampuan ni memang bisa diasah terus. Kita jg harus ingat bahwa dlm lingkungan tertentu, misalnya lingkungan politik / organisasi yg tak mementingkan proses, "timeline” dan “action plan”, kemampuan mengambil tindakan ni sering jadi tumpul.
Memang pendidikan dan latihan untk menata, memilah tindakan, dan menentukan prioritas tindakan ni bisa diperoleh ketika kita melaksanakan tugas kerja organisasi. Tidak heran bila dlm interviu dlm proses rekrutmen, calon-calon yg pernah bekerja dlm organisasi kemahasiswaan, sering mendapat perhatian lebih, karena dianggap berpengalaman "kerja".
“Do-ers”
Istilah “pelaksana” untk karyawan yg berkemampuan “operasional” sering mengakibatkan kita lupa bahwa sampai tingkat eksekutif pun kita perlu menguasai eksekusi. Eksekutif-eksekutif kondang seperti Jack Welsch, maupun jenderal-jenderal hebat seperti Harry Truman, justru melegenda karena tindakan-tindakannya, bukan teorinya. Bahkan Jenderal George S. Patton, terkenal dgn ucapannya: "An active mind cannot exist in an inactive body”.
Kita perlu ingat, Peter Drucker menekankan: “Executives are doers; they execute.” Bahkan menurut beliau pengetahuan tak banyak gunanya, bila para eksekutif tak mampu menerjemahkannya ke dlm tindakan. Seorang eksekutif harus bisa mengecek kualitas dan pencapaian hasil dan langsung membayangkan cara-cara pencapaiannya.
Dengan mengambil peran "do-er", tiap orang dlm organisasi akan berorientasi pd hasil, dan sekaligus jg trampil melakukan penyesuaian kalau pencapaian hasil terhambat. Behaviour Intelligence memang perlu dijaga dan dikembangkan. Apalagi sekarang, bukan saja penyelesaian tugas yg harus kita jamin, tetapi lebih kepada penyesuaian diri dan jg perubahan-perubahan drastis yg perlu kita kelola.
Bukankah orang yg sukses "melaksanakan" tugas jg akan merasa lebih happy? “A really great talent finds its happiness in execution.” - Goethe

Sumber: http://female.kompas.com/read/2013/04/18/09523948/Butuh.Kecerdasan.Perilaku.untuk.Menuntaskan.Tugas

source : http://oh-gitu.blogspot.com, http://slideshare.net, http://imgur.com

0 Response to "[Kesehatan] Butuh Kecerdasan Perilaku untuk Menyelesaikan Tugas"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *