This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Wara`

hotsvidz.blogspot.com - Pengertian sifat Wara`
Syaikh Abu Yazid Al-Bistami dikenal sebagai orang yg menjaga dirinya dgn sikap wara’. Sesuai riwayat Al-Bazzar dari Hudzaifah bin Al-Yaman, Rasulullah SAW bersabda, Keutamaan ilmu itu lebih baik dari keutamaan ibadah dan cara terbaik untk menjaga agamamu adlh bersikap wara’. Sikap wara‘ salah satunya dicontohkan oleh Rasulullah SAW dlm hadist yg diriwayatkan oleh Anas RA, Aku pergi kepada keluargaku, lalu mendapatkan sebiji buah yg terbuang di atas ranjangku, maka aku mengambilnya untk memakannya, kemudian aku khawatir kalau dia berasal dari buah yg disedekahkan maka akupun membuangnya. Dalam kitab Shahih Bukhari dari Aisyah RA diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar pernah memuntahkan makanan
yg diberikan oleh pembantunya. Hal tersebut beliau lakukan setelah pembantunya memberitahu bahwa makanan tersebut berasal dari upah yg didapatkannya dari hasil meramal seseorang ketika jaman jahiliyah. Padahal pembantunya bukanlah peramal yg baik. Hanya saja ia berhasil menipunya. Sikap wara’ seperti yg dicontohkan oleh Rasulullah SAW dan Abu Bakar RA diatas mempunyai banyak keutamaan. Karena itu, Rasululah SAW dlm hadis yg diriwayatkan Imam al-Tirmidzi memerintahkan kepada Abu Hurayrah untk bersikap wara’, sebab wara’ akan menjadikannya sebagai orang yg paling ahli dlm beribadah. Apa sebenarnya pengertian dari wara’? Wara’menurut kebahasaan mengandung arti menjauhi dosa, lemah, lunak hati, dan penakut. Para sufi memberikan definisi yg beragam tentang wara’ berdasarkan pengalaman dan pemahaman masing-masing. Ibrahim ibn Adham (w 160 H/777) mengatakan bahwa wara’ adlh meninggalkan syubhat (sesuatu yg meragukan) dan meninggalkan sesuau yg tak berguna. Pengertian serupa jg dikemukakan Yunus ibn Ubayd, hanya saja ia menambahkan dgn adanya muhasabah (koreksi terhadap diri sendiri tiap waktu). Imam al-Bukhari mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yg lebih mudah dari pd sifat wara’: Tinggalkanlah sesuatu yg meragukanmu kepada sesuatu yg tak meragukanmu. Ibn al-Qayyim al-Jawziyah menarik kesimpulan bahwa wara’ adlh membersihkan kotoran hati, sebagaimana air membersihkan kotoran dan najis pakaian. Karena sikap wara’ banyak orang yg melakukan pembersihan jiwa hanya mengkonsumsi makanan yg jelas sumber dan kehalalannya dlm kegiatan i’tikaf. Makanan diolah dlm keadaan wudhu dgn senantiasa mengingat Allah. Bahkan makanan berupa daging yg dikonsumsi dlm i’tikaf berasal dari sapi / kambing yg disembelih sendiri oleh panitia i’tikaf. Hal ni dilakukan untk memastikan agar hewan disembelih sesuai syariat Islam sehingga terjamin kehalalannya. Diriwayatkan oleh Al-Nasa’I dari hadits Hasan bin Ali, dia berkata, Aku telah mendengar dari Nabi Muhammad SAW, Tinggalkanlah apa-apa yg meragukanmu kepada apa yg tak meragukannmu. Di dlm shahih Muslim dari Nawwas bin Sam’an berkata: Aku telah bertanya kepada Nabi Muhammad SAW tentang kebaikan dan dosa, maka beliau bersabda, Kebaikan itu adlh akhlak yg baik dan dosa adalah
apa yg telah merasuk ke dlm hati tapi engkau tak suka jika orang lain melihat hal tersebut. Di dlm hadits yg lain yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Sekalipun banyak orang yg memberikan fatwa kepadamu.Sikap wara’ ni memiliki jangkauan yg cukup luas, yaitu meliputi pandangan, pendengaran, lisan, perut, kemaluan, jual beli dan yg lainlain. Banyak orang yg terjebak ke dlm perkara-perkara yg diharamkan dan syubhat karena meremehkan tiga perkara ini, yaitu bersikap wara’ dlm menjaga lisan, perut dan pandangan. Allah SWT berfirman: Dan janganlah kamu mengikuti apa yg kamu tak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS. Al-Isro’: 36) Sikap wara’ dlm mencari rezeki dan kehidupan sudah jarang disebut dan diperhatikan kaum muslimin. Kita lihat kaum muslimin sangat menggampangkan masalah ni sehingga terjerumus dlm perbuatan tercela dlm memenuhi kebutuhannya. Riba, dusta, menipu dan perbuatan haram lainnya di lakukan tanpa merasa berdosa hanya untk dalih memenuhi kebutuhan hidup. Apa hakikat Wara’? Para ulama memberikan definisi wara’ dgn beberapa ungkapan, diantaranya:

  • Wara’ adlh meninggalkan semua yg meragukan dirimu dan menghilangkan semua yg membuat jelek dirimu dan mengambil yg lebih baik.
  • Wara’ adlh ibarat dari tak tergesa-gesa dlm mengambil barang-barang keduniaan / meninggalkan yg diperbolehkan karena khawatir terjerumus dlm perkara yg dilarang.
Sedangkan Syaikhul Islam ibnu Taimiyah menggambarkan sikap wara’ ni dgn ungkapan: sikap hati-hati dari terjerumus dlm perkara yg berakibat bahaya yaitu yg jelas haramnya / yg masih diragukan keharamannya. Dalam meninggalkan perkara tersebut tak ada mafsadat yg kebih besar dari mengerjakannya (Majmu’ Fatawa, 10/511). Hal ni disimpulkan secara ringkas oleh murid beliau imam Ibnu al-Qayim dgn ungkapan: Wara’ adlh meninggalkan semua yg dikhawatirkan merugikan akhiratnya (Al-Fawaaid hlm 118). Jelaslah sikap wara’ adlh sikap meninggalkan semua yg meragukan dirimu dan menghilangkan semua yg membuat jelek dirimu. Hal ni dgn meninggalkan perkara syubuhat dan berhati-hati berjaga dari semua larangan Allah. Seorang tak dikatakan memiliki wara’ sampai menjauhi perkara syubuhat (samar hukumnya) karena takut terjerumus dlm keharaman dan meninggalkan semua yg dikhawatirkan merugikan akhiratnya. Sebagaimana dijelaskan dlm sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam : الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ فَمَنْ اتَّقَى الْمُشَبَّهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ كَرَاعٍ يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يُوَاقِعَهُ أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى أَلَا إِنَّ حِمَى اللَّهِ فِي أَرْضِهِ مَحَارِمُهُ Perkara halal sudah jelas dan yg harampun sudah jelas. Diantara keduanya (halal dan haram ini) ada perkara syubuhat (samar hukumnya) yg banyak orang tak mengetahuinya. Siapa yg menjauhi perkara syubuhat ni maka ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Siapa yg terjerumus dlm perkara syubuhat ni seperti seorang gembala yg menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yg hampir menjerumuskannya. Ketahuilah tiap raja memiliki tanah larangan dan tanah larangan Allah di bumi ni adlh perkara-perkara yg diharamkanNya. (Muttafaqun ‘Alaihi). Jenis dan tingkatan Wara’ Imam Ar-Raaghib Al-Ashfahani membagi sikap wara’ dlm tiga tingkatan:
  1. Wajib, yaitu menjauhi larangan Allah dan ni wajib untk semua orang.
  2. Sunnah, yaitu berhenti pd perkara syubuhat. Ini untk orang yg pertengahan
  3. Fadhilah (keutamaan), yaitu menahan diri dari banyak perkara yg mubah dan mencukupkan dgn mengambil sedikit darinya untul sekedar memenuhi kebutuhan primernya saja. Ini untk para nabi, shiddiqin, syuhada dan sholihin. (lihat kitab Adz-Dzari’ah Ila Makaarim al-Syari’at hal. 323).
Faedah dan manfaat sikap wara’ Sikap wara’ memiliki banyak sekali faedah, diantaranya adalah:
  1. Wara’ termasuk martabat tertinggi dari iman dan terutama dlm martabat ihsaan.
  2. Memberikan kepada seorang mukmin perasaan lega dan ketenangan jiwa.
  3. Masyarakat yg memiliki sikap wara’ akan menjadi masyarakat yg baik dan bersih.
  4. Allah mencintai orang yg bersikap wara’ dan jg para makhlukpun demikian.
  5. Sikap wara’ bisa menjadi sebab ijabah do’a.
Semoga Allah memberikan kepada kita sikap wara’ yg benar dan tepat dlm menghadapi gelombang fitnah dunia yg demikian besarnya ini.
sebagaim tambahan mengenai wara` كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ Jadilah orang yg wara’ niscaya engkau menjadi manusia yg paling beribadah Sesungguhnya orang yg mengenal Rabb-nya dan menempatkan-Nya sebagaimana mestinya, mengagungkan larangan dan syi’ar-syi’ar-Nya, akan melakukan pengagungan sampai kepada sikap hati-hati dari tiap perkara yg bisa menyebabkan kemurkaan Allah I di dunia maupun di akhirat. Maka wara’ di sisi-Nya termasuk jenis takut yg membuat seseorang meninggalkan banyak hal yg dibolehkan, jika hal itu menjadi samar atasnya bersama yg halal agar tak merugikan agamanya. Di antara tanda yg mendasar bagi orang-orang yg wara’ adlh kehati-hatian mereka yg luar biasa dari sesuatu yg haram dan tak adanya keberanian mereka untk maju kepada sesuatu yg bisa membawa kepada yg haram. Dan dlm hal itu, Rasulullah r bersabda: إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ, فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ. Sesungguhnya yg halal dan yg haram itu jelas. Dan di antara keduanya banyak hal-hal syubhat yg kebanyakan orang tak mengetahuinya. Barangsiapa yg menjaga diri dari hal-hal yg syubhat maka ia telah membersihkan agama dan kehormatannya.[i] Dan barangsiapa yg bertindak berani di tempat-tempat yg diragukan, niscaya bertambahlah keberaniannya terhadap sesuatu yg lebih berat: Dan sesungguhnya orang yg bercampur keraguan, hampir-hampir ia berani (kepada yg diharamkan).[ii] Maka wara’ yg sebenarnya adlh seperti yg digambarkan oleh Yunus bin ‘Ubaid rahimahullah: yaitu keluar dari semua yg syubhat dan muhasabah (introfeksi) terhadap diri sendiri di tiap kedipan mata.[iii] Perjalanan kejatuhan berawal dgn satu kali terpeleset, dan semangat terhadap akhiratnya menjadikan di antaranya dan terpelesetlah tameng yg menutupi dan menjaganya. Syaikh al-Qubbarirahimahullah mengisyaratkan kepada pengertian ni dgn katanya: ‘Yang makruh adlh dinding penghalang di antara hamba dan sesuatu yg haram. Maka barangsiapa yg banyak melakukan yg makruh berarti ia menuju kepada yg haram. Dan yg mubah merupakan dinding pemisah di antaranya dan yg dimakruhkan. Maka barangsiapa yg memperbanyak yg mubah niscaya ia menuju kepada yg makruh.’[iv]Ibnu Hajar rahimahullah memandang baik perkataannya ni dan ia menambahkan: ‘Sesungguhnya yg halal, sekiranya dikhawatirkan bahwa melakukannya secara mutlak bisa menyeret kepada yg makruh / haram, semestinya meninggalkannya, seperti memperbanyak yg halal. Sesungguhnya hal itu membutuhkan banyak kerja yg dpt menjatuhkan diri seseorang dlm mengambil yg bukan haknya / membawa kepada penolakan jiwa. Dan sekurang-kurangnya adlh tersibukkan dari ibadah (maksudnya, tak ada waktu untk beribadah, pent.). Hal ni sudah diketahui berdasarkan pengalaman dan disaksikan dgn pandangan mata.[v] Ciri mendasar pd seseorang yg bersifat wara’ adlh kemampuannya meninggalkan sesuatu yg hanya semata-mata ada keraguan / syubhat, seperti yg dikatakan oleh al-Khaththabi rahimahullah: ‘Semua yg engkau merasa ragu padanya, maka sifat wara’ adlh menjauhinya.’[vi] Imam al-Bukharirahimahullah mengutip perkataan Hasan bin Abu Sinan rahimahullah: ‘Tidak ada sesuatu yg lebih mudah dari pd sifat wara’: Tinggalkanlah sesuatu yg meragukanmu kepada sesuatu yg tak meragukanmu.[vii]Sebagaimana diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda: البِرُّ مَا سَكَنَتْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَاطْمَأَنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ وَاْلإِثْمُ مَالَمْ تَسْكُنْ إِلَيْهِ النَّفْسُ وَلَمْ يَطْمَئِنَّ إِلَيْهِ الْقَلْبُ -وَإِنْ أَفْتَاكَ الْمُفْتُوْنَ Kebaikan adlh sesuatu yg jiwa merasa tenang dan hati merasa tenteram kepadanya, sedangkan dosa adlh sesuatu yg jiwa tak merasa tenang dan hati tak merasa tenteram kepadanya, sekalipun orang-orang memberikan berbagai komentar kepadamu.[viii] Dan yg memperkuat hal itu adlh atsar yg diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir rahimahullah secara mursal: مَا أَنْكَرَهُ قَلْبُكَ فَدَعْهُ Sesuatu yg diingkari hatimu, maka tinggalkanlah.[ix] Orang-orang yg memiliki kedudukan yg tinggi selalu bersikap prefentif untk diri mereka sendiri dgn berhati-hati dari sebagian yg halal yg bisa membawa kepada sesuatu yg makruh / haram. Diriwayatkan dari Rasulullah r, beliau bersabda: لاَيَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ مِنَ الْمُتَّقِيْنَ حَتَّى يَدَعَ مَالاَبَأْسَ بِهِ حَذَرًا مِمَّا بِهِ بَأْسٌ Seorang hamba tak bisa mencapai derajat taqwa sehingga ia meninggalkan yg tak dilarang karena khawatir dari sesuatu yg dilarang.[x] Hal ni diperkuat oleh hadits yg lain: اجْعَلُوْا بَيْنَكُمْ وَبَيْنَ الْحَرَامِ سِتْرًا مِنَ الْحَلاَلِ... Jadikanlah pendinding yg halal di antara kamu dan yg haram ...[xi] Ibnu al-Qayyim rahimahullah menceritakan pengalamannya bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah: Syaikhul Islam berkata kepadaku pd suatu hari tentang sesuatu yg mubah (boleh): ‘Ini menghalangi kedudukan yg tinggi, sekalipun meninggalkannya bukanlah syarat dlm keselamatan.[xii] Sebagaimana wara’ meliputi gambaran-gambaran usaha dan hubungan mu’amalah, maka sesungguhnya ia jg mencakup lisan. Sesungguhnya engkau menemukan kebanyakan orang bersegera memberi fatwa, sedangkan mereka tak mengetahui. Karena itulah, ad-Darimi rahimahullah membuat satu bab yg berbunyi:Menahan diri (bersikap wara’) dari menjawab sesuatu yg tak ada dlm al-Qur`an dan sunnah.’ Ishaq bin Khalafrahimahullahmemandang sikap wara` dlm ucapan lebih utama daripada sikap wara` dlm hubungan yg berkaitan dgn harta, di mana dia berkata: ‘Wara’ dlm tuturan kata lebih utama daripada emas dan perak...[xiii] Di antara renungan Ibnu al-Qayyim rahimahullah dlm hadits-hadits Rasulullah r, dia menyatakan bahwa sesungguhnya: ‘Rasulullah r mengumpulkan semua sifat wara’ dlm satu kata, maka beliau bersabda: مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَالاَيَعْنِيْهِ Termasuk tanda baik keislaman seseorang, ia meninggalkan hal-hal yg tak penting baginya.[xiv] Dan di antara hasil yg nampak bagi sikap wara’ bahwa ia memelihara pelakunya dari terjerumus (dalam hal yg dilarang), karena itulah engkau menemukan: Barangsiapa yg melakukan yg dilarang, ia menjadi gelap hati karena tak ada cahaya wara’, maka ia terjerumus dlm hal yg haram, kendati ia tak memilih untk terjerumus padanya. Seperti yg dikatakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah.[xv] Dan dlm hadits ifki (berita bohong), ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata tentang Zainab radhiyallahu ‘anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dlm perkara yg ia tak mengetahui: ‘Maka Allah I menjaganya dgn sifat wara’[xvi] Sebagaimana orang yg wara’ memelihara agama dan kehormatannya dari celaan: فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ ...Maka barangsiapa yg menahan diri dari yg syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ...[xvii] Ibnu Hajar rahimahullah berkata: ‘Dalam hadits ni menjadi dalil bahwa barangsiapa yg tak menjaga diri dari yg syubhat dlm usaha dan kehidupannya, berarti ia telah menawarkan dirinya untk mendapat celaan. Dan dlm hal ni menjadi isyarat untk memelihara perkara-perkara agama dan menjaga sikap muru`ah.’[xviii] Maka apabila wara’ merupakan kedudukan ibadah yg tertinggi: كُنْ وَرِعًا تَكُنْ أَعْبَدَ النَّاسِ Jadilah orang yg wara’ niscaya engkau menjadi manusia paling beribadah.[xix] Dan jika agama yg paling utama adlh sikap wara’: خَيْرُ دِيْنِكُمْ الوَرَعُ Sebaik-baik agamamu adlh sikap wara’[xx] Apakah juru dakwah yg beriman tak mau menaiki puncak tersebut dan menjaga dirinya dari terjatuh dan terjerumus. Dia harus menjaga diri dan berhati-hati agar amal ibadahnya tak gugur sedangkan dia tak mengetahui. Maka sesungguhnya banyak para sahabat yg takut dari sifat nifaq terhadap diri mereka, dan Ibnu Hajar rahimahullah menyebutkan alasan tersebut dgn penjelasanannya: Rasa takut mereka dari sifat nifaq tak berarti adanya sifat itu pd diri mereka, bahkan hal itu merupakan sikap wara’ dan taqwa yg luar biasa dari mereka radhiyallahu ‘anhum jami’an. Seperti inilah sifat mereka, maka hendaklah kita melakukan intropeksi terhadap diri kita dan menimbang amal perbuatan kita sendiri. Kesimpulan: 1. Wara’ adlh sikap takut yg mendorong seseorang untk meninggalkan perbuatan yg boleh, sebagai sikap kehati-hatian. 2. Di antara tanda-tanda sifat wara’ adalah: a. Sangat berhati-hati dari yg haram dan syubhat. b. Membuat pembatas di antaranya dan yg dilarang. c. Menjauhi semua yg diragukan. d. Tidak berlebihan dlm persoalan yg boleh. e. Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu. f. Meninggalkan perkara yg tak berguna. 3. Di antara buah wara’ adalah: a. Menjaga diri dari istidraj. b. Menjaga agama dan kehormatan. 4. Di antara sikap wara’ para sahabat bahwa mereka sangat khawatir terhadap diri mereka dari sifat nifaq.
[i] HR. al-Bukhari, kitab al-Iman, no. 52, dan Muslim, kitab al-Musaqah, no. 1599 dan 107. [ii] Sunan Abu Daud, kitab buyu’ (jual beli), bab ke-3 no. 3329. [iii] Tahdzib Madarijus Salikin, hal. 290. [iv] Fath al-Bari 1/127, saat menjelaskan hadits no. 52. dari kitab al-Iman, bab ke-39. [v] Fath al-Bari 1/127. [vi] Fath al-Bari 4/293, dari syarah bab ke-3, dari kitab Buyu’. [vii] Shahih al-Bukhari, dari judul bab ke-3, dari kitab al-Iman. [viii] Shahih al-Jami’ no. 2881 (Shahih). [ix] Shahih al-Jami’ no. 5564 (Shahih) [x] HR. at-Tirmidzi dan ia menyatakan hasan. [xi] Shahih al-Jami’ no. 152 (Shahih). [xii] Tahdzib Madarijus salikin hal. 292. [xiii] Tahdzib Madarijus salikin hal. 290. [xiv] HR. at-Tirmidzi no. 2318 (Hasan). [xv] Fath al-Bari 1/127-128, saat menerangkan bab ke-39 dari kitab al-Iman. [xvi] Shahih al-Bukhari, kitab Maghazi, bab ke-34, hadits no. 4141. [xvii] Shahih al-Bukhari, kitab al-Iman, bab ke-39, hadits no. 52. [xviii] Fath al-Bari 1/127. [xix] Shahih al-Jami’ no. 4580 (Shahih). [xx] Shahih al-Jami’ no. 3308.
sumber YGNI induk FKGNI

other source : http://viva.co.id, http://solopos.com, http://gurungaji-asatidz.blogspot.com

0 Response to "Wara`"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *