hotsvidz.blogspot.com - Tergelitik, itulah impresiku saat baca headline harian Solopos sekian edisi lalu, Teroris Disokong Bisnis Buku. Bayanganku, buku senantiasa membawa kebaikan dan manfaat tak terkira. Buku adlh simbol peradaban manusia. Bahkan pernah ada suatu masa di mana masyarakat dgn mudah bisa membedakan mana orang berwawasan, dan mana yg bukan. Pembedanya cuma melek-huruf. Syukurlah, konon angka melek-huruf di Indonesia adlh 84%, sedangkan rata-rata untk negara berkembang adlh 69%. Orang Indonesia hebat-hebat bukan?
Tunggu dulu, di zaman ini, yg melek-huruf tak serta-merta berwawasan tinggi. Setidaknya ada tiga jenis melek-huruf, sebagaimana diurai Ignas Kleden. Pertama, yg (hanya) secara teknis melek-huruf. Orang-orang jenis ni sempat mendapat pengajaran ihwal baca-tulis, tapi karena keterbatasan buku bacaan / hal lain, mereka jarang mengamalkan kemampuan baca-tulisnya. Kedua, yg secara teknis dan fungsional bisa baca-tulis. Mereka mengamalkan kemampuannya, tapi pd taraf dan kepentingan tertentu saja, belum sampai membudaya. Maka, jenis ketiga ialah yg secara teknis dan fungsional melek-huruf, serta menjadikan baca-tulis sebagai kerja budaya.
Buku Sebagai Indikator Daniel Lerner, melalui karyanya The Passing of Traditional Society: Modernizing The Middle East (1978), berasumsi bahwa perbedaan antara masyarakat tradisional, masyarakat transisional, dan masyarakat modern ditandai oleh akses kepada tulisan. Semakin masyarakat mengakrabi buku, semakin modern mereka. Lerner mengandaikan, masyarakat yg lebih modern mempunyai kemampuan empati lebih luas ketimbang masyarakat tradisional. Kemampuan empati adlh sejauh mana seseorang sanggup menempatkan dirinya dlm situasi orang lain. Mengapa bisa demikian? Lalu, apa pula kaitannya dgn terorisme?
Setiap buku mengandung pengetahuan, dan bersama itu pula, ia menawarkan cara pandang. Banyaknya pengetahuan ditentukan oleh banyaknya buku yg ia baca, jg cara pandangnya, pasti semakin kaya. Sudah itu, orang yg cara pandangnya luas, tak akan kesulitan menyesuaikan diri dgn situasi, baik saat menghadapi lingkungan / liyan. Bagi orang-orang seperti itu, realitas dihadapi sebagaimana hadirnya, kemudian dimaknai dgn perspektif yg kaya. Tidak perlu memaksakan realitas mesti begini-begitu. Realitas biar hadir sebagai faktisitas, manusianya yg mesti menyituasikan diri. Untuk menghadapi faktisitas itu, manusia modern berpayung pd buku.
Lalu bagaimana dgn terorisme yg lazim berangkat dari radikalisme agama itu? Bisa saja, secara gegabah, kita menuduh mereka kurang modern, kurang membaca buku. Memang ada benarnya, meski tak mutlak. Satu yg unik, teroris-teroris yg terjebak arus radikalisme agama itu lazimnya orang-orang kalah. Merekalah orang-orang yg tak siap menghadapi realitas, tak sanggup menempatkan diri dlm situasi orang lain. Itulah mengapa pesantren sering dituding produsen teroris. Sebenarnya bukan salah pesantren, instansi itu sudah pd tugasnya. Kembali ke soal kesiapan santrinya.
Di pesantren, mereka diajari perihal ideal, tentang Tuhan, doa, pahala, surga, dan ihwal baik lain. Sekeluarnya dari pesantren, mereka terlempar ke realitas yg ternyata tak seideal yg dikira. Bisa ditebak, apa yg terjadi selanjutnya. Orang-orang kalah itu berupaya mengonstruksi dunia sesuai ideal mereka. Secara radikal, secara banal. Di kemudian hari, kita mengenal mereka dgn sebutan teroris. Tidak tiap kita merasa cocok dgn situasi ideal yg mereka upayakan. Justru lebih banyak yg was-was, yg merasa terganggu keamanan dan kenyamanannya. Begitulah teror, ancamannya tiada akhir.
Buku Sebagai Teror Buku, yg mestinya menguatkan empati, justru dipakai menyokong tindakan nirempati: terorisme. Tapi sudahlah, tak perlu dibahas lagi. Biar jadi dosa bagi mereka sendiri, apa kita perlu ikut-ikutan mendosa? Lebih baik, kita bahas kemungkinan lain, buku pun bisa meneror, tak sekadar mendonaturi teror secara finansial. Seringkali, buku menjadi momok yg menakutkan bagi penguasa. Semisal Dibawah Bendera Revolusi, rezim Orde Baru menganggapnya sebagai teror yg mengancam. Meski tiada instruksi yg jelas mengenai pelarangannya, karya Sukarno tersebut cuma mangkrak di gudang, bukannya beredar luas demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Seram betul karyamu, Bung!
Orde Baru belum seutuhnya berlalu. Sampai kini, detak-detak aksara pun masih bergerilya menggentanyangi penguasa. Diam-diam, banyak buku kiri yg beredar luas. Sedang dahulu, menemukan buku Marxisme katakanlah, bagai mimpi di siang bolong. Susahnya minta ampun. Sekali ketemu, harganya pasti tinggi. Betapa sulit mengakses pengetahuan pd saat itu. Artinya, situasi hari ni mesti disyukuri. Kita bisa beli buku ini-itu, tanpa kendala berarti selain uang saku. Seorang pria bisa dgn mudah belikan buku Albert Camus buat pacarnya, guna menyampaikan absurditas hubungan mereka dlm diam. Romantis bukan?
Sayangnya, buku-buku hari ni seakan tak bertaji. Teror kataku, mungkin tak jadi berlaku. Beredarluasnya buku tak menjadi jaminan, belum tentu memperbaiki keadaan. Barangkali, angka melek-huruf di Indonesia sebanyak 84% itu baru sekian persen yg menjadikan baca sebagai budaya. Sisanya, hanya secara teknis dan fungsional bisa, tapi tak menghayat di masyarakat kita. Sejujurnya, aku tetap prihatin mengetahui terorisme disokong bisnis buku. Selain itu, buku sebagai teror pun melempem di zaman ini, entah siapa yg bebal. Mungkin, perlu ada teror untk mengupayakan masyarakat melek-buku sebagai tatanan ideal. Mari meneror!
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Buku & Teror - Politik"
Post a Comment