This site uses cookies from Google to deliver its services, to personalize ads and to analyze traffic. Information about your use of this site is shared with Google. By using this site, you agree to its use of cookies. Learn More

Hukum Menjamak Shalat Bagi Orang Sakit


hotsvidz.blogspot.com - Oleh: Iffah Izzah A.
A.Pendahuluan Menjamak shalat bukanlah hal yg asing di telinga umat Islam. Bahkan di kalangan awam sekalipun, istilah jamak dan rekannya, yaitu qashar, sudah menjadi hal biasa. Menjamak shalat merupakan dispensasi dlm pelaksanaan shalat. Hanya saja, karena keterbatasan pengetahuan, banyak orang yg menyalah gunakannya, dlm kata lain meremehkan sehingga membuatnya seenak sendiri melakukan jamak shalat. Ada pula yg masih bingung perihal kebolehan menjamak shalat pd kondisi-kondisi yg menyebabkan mereka tak bisa menunaikan shalat pd waktunya. Sejatinya, shalat fardhu harus dikerjakan pd waktunya.[1] Sebagaimana firman Allah, Sesungguhnya shalat itu adlh fardhu yg ditentukan waktunya atas orang-orang yg beriman. (Q.S. An-Nisa: 103) Hanya saja, tak semua orang mampu melakukannya, bukan sebab malas, tapi ia memiliki kesulitan untk melaksanakan shalat tepat waktu. Salah satu yg memberatkan seseorang untk shalat tepat waktu adlh sakit. Karena ketika sakit, hal tersebut seringkali mengakibatkan ia tak dpt beraktivitas / beribadah semaksimal sebagaimana ketika masa sehatnya. Islam merupakan dien yg mudah. Karena Sang Pemberi Syariat tak pernah ingin memberatkan hamba-Nya. Dia memberikan kelonggaran bagi orang yg berudzur. Oleh karenanya penulis akan membahas tentang jamak shalat bagi orang sakit. Karena sebagaimana yg kita maklumi, beberapa orang sakit mengalami kesulitan untk shalat tepat waktu, bagi mereka penderita penyakit kronis / mereka yg sering tak sadarkan diri. B.Definisi dan Pensyariatan Shalat Jamak Jamak shalat terdiri dari dua kata yg asal keduanya adlh bahasa arab. Jamak, diambil dari isim masdar kata جمع yg berarti menggabungkan[2]. Dan shalat tetap diartikan sebagaimana makna syar’inya. Sehingga makna jamak shalat (جمع الصلاة) adlh menggabungkan dua shalat. Shalat jamak boleh dilakukan untk menggabung antara shalat dzuhur dan ashar, ataupun antara shalat maghrib dan isya. Jika dilakukan di awal maka disebut jamak taqdim dan bila ditangguhkan pd waktu shalat kedua disebut jamak ta’khir. Sudah menjadi maklum jika shalat jamak dilakukan ketika safar. Sebagaimana yg terdapat dlm hadits Abdullah bin Abbas, beliau berkata: كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَجمَعُ بَينَ صَلاةِ الظّهرِ وَالعَصرِ إِذَا كانَ على ظهرِ سيرٍ، وَيجمعُ بينَ المغرِبِ وَالعشاءِRasulullah Saw., menjamak antara dzuhur dan ashar jika sedang dlm perjalanan. Beliau jg menjamak antara maghrib dan isya.[3] Hal yg masih menjadi perselisihan ulama adlh menjamak shalat bagi selain musafir. Dalam hukum menjamak shalat ketika mukim (tidak bersafar), madzhab yg paling meringankan adlh madzhab Hanbali.[4] Hadits yg sering dijadikan acuan bolehnya menjamak shalat bagi orang yg mukim adlh عن ابن عباس قال: صلى رسول الله r الظهر و العصر جميعا, و المغرب و العشاء جميعا من غير خوف ولا سفر. Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah Saw., pernah menjamak shalat dzuhur dan ashar, jg menjamak shalat maghrib dan isya bukan karena takut, dan bukan karena bepergian." قال ابو الزبير: فسألت سعيدا: لما فعل ذلك؟ فقال: سألت ابن عباس كما سألتني. فقال: أراد ان لا يحرج أحدا من أمته.
Abu az-Zubair mengatakan bahwa aku bertanya kepada Sa’id bin Jubair tentang mengapa Nabi Saw., berbuat demikian. Kata Sa’id, Hal itu sudah kutanyakan kepada Ibnu Abbas. Jawaban Ibnu Abbas, Nabi Saw., ingin untk tak menyusahkan satupun dari umatnya’. (H.R. Muslim) Sedangkan dlm riwayat lain, berbunyi (من غير خوف ولا مطر) bukan karena takut, dan bukan karena turun hujan.
C.Syarh Hadits Ibnu Abbas Dalam syarhnya, Imam an-Nawawi menjelasan bahwa sebagian ulama menjelaskan bahwa Nabi Saw., menjamak shalat ketika itu mungkin karena faktor hujan. Pendapat inilah yg masyhur dari sebagian besar para ulama terdahulu, tetapi pendapat tersebut dpt dilemahkan karena di dlm riwayat lain lafadznya tak ada ketakutan, tak pula sedang turun hujan. An-Nawawi jg mengatakan, Ada ulama yg menjelaskan bahwa ketika itu ada mendung lalu Nabi Saw., mengerjakan shalat Zhuhur. Setelah mendung hilang misalnya diketahui bahwa waktu Ashar sudah tiba. Akhirnya Nabi Saw., melanjutkan dgn shalat Ashar. Komentar an-Nawawi terhadap pendapat ini, Ini adlh pendapat yg mengada-ada. Meski ada sedikit kemungkinan untk menerima pendapat ni untk memahami shalat jamak yg Nabi lakukan untk shalat Zhuhur dan Ashar. Tapi kemungkinan ni jelas tertolak untk shalat Maghrib dan Isya. Sedangkan sebagian ulama menjelaskan bahwa beliau Saw., mengakhirkan shalat yg pertama, maka ketika beliau selesai shalat yg pertama tersebut telah masuk waktu shalat kedua dan seketika itu beliau menunaikan shalat yg kedua. Shalat beliau pun menjadi seperti shalat jamak (jamak shuri). Pendapat seperti ni jg lemah, karena bertentangan dgn dhahir hadits. Adapun sebagian ulama menjelaskan bahwa Nabi Saw., menjamak shalat ketika itu mungkin karena faktor sakit / hal-hal lain yg termasuk udzur. Ini merupakan pendapat Imam Ahmad bin Hanbal dan Qadhi Husain, jg pendapat yg diambil al-Khathabi, al-Muthawalli, dan ar-Ruyani dari Madzhab Syafi’i. Pendapat tersebut diambil berdasarkan dhahir hadits dan karena aplikasi Ibnu Abbas serta adanya kecocokan dari Abu Hurairah, karena kesulitannya lebih berat daripada hujan. Sehingga sebagian imam berpendapat bolehnya menjamak shalat ketika mukim jika ada kebutuhan dan tak dijadikan kebiasaan. Itu adlh pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari Madzhab Maliki, jg al-Khathabi dari al-Qaffal dan asy-Syasyi al-Kabir dari Madzhab Syafi’i, hal ni jg merupakan pendapat sejumlah ulama pakar hadits.[5] Menurut Imam asy-Syaukani, hadits tersebut menunjukkan boleh menjamak shalat sebab hujan, suasana ketakutan, dan sakit. Yang diperselisihkan dari tekstual hadits tersebut adlh tentang menjamak shalat tanpa adanya udzur. Karena adanya ijma’ (yang melarang jamak shalat tanpa udzur) jg karena adanya hadits-hadits yg menjelaskan waktu-waktu shalat. Oleh sebab itu, yg dipahami tetap dhahir haditsnya. Terdapat pula hadits tentang bolehnya wanita yg mengalami istihadhah untk menjamak shalat, sedangkan istihadhah termasuk salah satu macam penyakit.[6] Syaikh al-Albani ketika ditanya tentang kandungan hadits tersebut, beliau menjawab, Kadungan hadits ni bukan seperti yg dipahami oleh sebagian thalibul ilmi, bukan berarti boleh jamak tanpa sebab. Ketika seorang muslim menetap (bermukim) di daerahnya, maka ia wajib menjaga shalat tepat waktu. Jika ia mendapati udzur / kesulitan, maka saat ia hendak menghilangkan kesulitan tersebut, ia boleh menjamak shalat, baik jamak taqdim ataupun jamak ta’khir. Ilah pembolehan jamak ni adlh menghilangkan kesusahan dari seorang muslim. Jadi, jika ia tak memiliki kesulitan, ia tak boleh menjamak shalat. Kita wajib mengambil hadits secara utuh. Di dlm hadits ni jg terdapat penyempurnaan. Yaitu bahwasanya sebagian sahabat bertanya kepada Ibnu Abbas: Apa yg dikehendaki beliau Saw., wahai Ibnu Abbas? Ibnu Abbas menjawab: Beliau ingin untk tak menyusahkan satupun dari umatnya. Izinnya Rasulullah Saw., untk menjamak shalat pd waktu mukim selain karena hujan, adlh untk menunjukkan pd umatnya boleh menjamak shalat dlm rangka menghilangkan beban. Jika tak terdapat udzur syar’i yg jelas / udzur syar’i yg tak jelas bagi masyarakat, tetapi udzur tersebut hanya berkaitan dgn seseorang, dia mendapat kesulitan untk menunaikan shalat pd waktunya, maka ia tak boleh menjamak shalat secara mutlak.[7]
D.Kondisi Dibolehkannya Menjamak Shalat Madzhab Hanafi membatasi syariat menjamak shalat ketika haji saja, yaitu pd Hari Arafah, seseorang menjamak shalat dzuhur dan ashar secara jamak taqdim, dan ketika malam Hari Raya Idul Adha ia menjamak shalat maghrib dan isya dgn jamak takhir.[8] Sedangkan Madzhab Hanbali membolehkan untk menjamak shalat dlm delapan keadaan, yaitu ketika safar, hujan dan semisalnya, sakit, menyusui, kesuliitan dlm bersuci, kesulitan dlm mengetahui waktu, istihadhah dan yg semisalnya seperti musalsal (yang sering buang air kecil), sering mengeluarkan madzi, ataupun sering mimisan, jg ketika memiliki keperluan karena sibuk / udzur yg membolehkannya untk meninggalkan shalat jamaah dan jum’at seperti khawatir akan keselamatan dirinya dan hartanya, / membahayakan mata pencahariannya. Adapun ulama Madzhab Maliki membolehkan jamak shalat pd enam kondisi, yaitu ketika safar, hujan, jalan berlumpur dlm suasana gelap, sakit, dan jamak ketika berada di Arafah dan Muzdalifah (saat haji). Sedangkan ulama Madzhab Syafi’i membatasi jamak dlm tiga keadaan saja, yaitu ketika safar, hujan, dan ketika manasik haji di Arafah dan Muzdalifah.[9] Menurut Syaikh Abu Malik Kamal, boleh menjamak shalat sekalipun tak dlm perjalanan bila ada keperluan. Dengan syarat tak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan melainkan karena adanya alasan yg mendesak seperti sakit / semisalnya.[10]
E.Menjamak Shalat Bagi Orang Sakit Orang yg sakit tetap berkewajiban melaksanakan shalat pd waktunya dan melakukan semua gerakan shalat semampunya. Jika dia merasa keberatan melakukan semua shalat tepat waktu, maka ia boleh menjamak antara dzuhur dan ashar, maghrib dan isya. Tetapi ia tak boleh menjamak shalat subuh dgn shalat sebelumnya (isya) / sesudahnya (dzuhur).[11] Para ulama berselisih pendapat tentang hukum menjamak shalat bagi orang sakit. Imam Malik mengatakan jika orang yg sakit tersebut khawatir akan jatuh pingsan, maka ia boleh menjamak shalat dzuhur dan ashar saat matahari tergelincir (masuk waktu dzuhur) serta menjamak shalat maghrib dan isya ketika matahari terbenam. Tetapi jika jamak shalatnya sekedar untk meringankannya lantaran dahsyatnya sakit yg ia rasakan, maka hendaknya ia menjamak shalat dzuhur dan ashar di tengah-tengah waktu dzuhur dan demikian untk shalat maghrib dan isya’, jamak dilakukan ketika mega merah telah menghilang. Karena menurut beliau orang sakit lebih utama untk menjamak shalat dibandingkan musafir dan selainnya, melihat tingkat kesulitannya.) Akan tetapi jika si sakit menjamak shalat padahal ia tak terdesak untk menjamaknya, maka ia harus mengulangi shalatnya selama belum keluar dari waktu shalat tersebut. Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa tata cara orang sakit menjamak shalat sama sebagaimana musafir, yaitu dgn mengakhirkan shalat dzuhur di akhir waktu dan shalat melaksanakan shalat ashar di awal waktu.[12] Model jamak shalat seperti ni sering disebut dgn jamak shuri.[13] Karena sebagaimana yg telah kami sebutkan, Madzhab Hanafi membatasi bolehnya menjamak shalat hanya ketika haji. Adapun dlm kitab al-Umm karya Imam Syafi’i, beliau menjelaskan bahwa tak boleh bagi orang yg berudzur untk menjamak dua shalat di waktu awal keduanya, kecuali ketika turun hujan.[14] Menurut al-Hajawi, orang yg sakit boleh menjamak shalat apabila ia merasa kesulitan jika tak menjamaknya, seperti merasa lelah / lemah. Apapun jenis penyakitnya. Baik itu sakit kepala, punggung, perut, kulit, ataupun sakit pd anggota tubuh lainnya.[15] Hal ni berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala: يرِيدُ اللهُ بكمُ اليسرَ وَلاَ يرِيدُ بكمُ العسرَ Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S. Al-Baqarah: 185) Dalam menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir menampilkan hadits Rasulullah Saw., Permudahlah oleh kalian dan jangan mempersulit, buatlah hati mereka tenang dan jangan menakut-nakuti.[16] Atha berkata: Orang yg sakit boleh menjamak shalat maghrib dan isya. Atsar[17] dari Atha tersebut bersambung dgn Abdurrazzaq yg beliau tulis di mushnafnya dari Ibnu Jarih.[18]
F.Penutup Dari pembahasan di atas, maka dpt penulis simpulkan bolehnya orang sakit untk menjamak shalat jika dia memang merasa kesulitan untk melaksanakan shalat pd waktunya. Tapi jika sakitnya ringan, seperti sariawan, bibir pecah-pecah, / hanya pusing ringan, ia pun masih mampu menunaikan shalat tepat waktu, maka ia tak boleh menjamak shalatnya. Adapun hukum menjamak shalat bagi orang sakit diperselisihkan oleh para ulama. Imam Ahmad membolehkan secara mutlak dan sebagian penganut Madzhab Syafi’i jg memilih pendapat tersebut. Imam Malik membolehkan dgn syarat, sedangkan pendapat yg masyhur dari Imam syafi’i dan murid-muridnya adlh adalah melarang hal tersebut. Wallahu a’lam bish shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-Adhim Abdil Barr, Ibnu. At-Tamhid. Kairo: Al-Faruq al-Haditsah. 2008. Ali al-Musyaiqih, Khalid bin. An-Nawazil fi al-Ibadat. (ttp.: t.p., t.t.) Atsqalani, al-, Ibnu Hajar. Fath al-Bari. Kairo: Darul hadits. 2004. Hajawi, al-, Musa Salim. Asy-Syarh al-Mumti’ Ala Zaad al-Mustaqni’. Kairo: Jannatul Afkar. 2008. Ibrahim bin, Muhammad, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Riyadh: Adhwa as-Salaf. Cet: Ke-2. 2007. Kamal, Abu Malik. Fiqh Sunnah Li an-Nisa. Kairo: Maktabah Taufiqiyah. 2008. Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-Adhim. Kairo: Maktabah Taufiqiyah. Nawawi, an-, Imam. Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi. Kairo: Darul Hadits. Cet: ke-4. 2001. Syafi’i, asy-, Imam. Al-Umm. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Cet: ke-2. 2009. Syaukani, asy-, Imam. Nailul Authar. Kairo: Darul Hadits. 2005. Utsaimin, al-, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. Kairo: Dar Ibnu Haitsam. Cet: ke-1. 2002. Zuhaili, az-, Wahbah. Al-wajiz Fi al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Darul Hadits. 2005. Kamus al-Munawwir Kamus Arab Indonesia.Ahmad Warson Munawwir.Cet. ke-14, Surabaya: Pustaka Progressif. 1997.

[1] Abu Malik Kamal, Fiqh as-Sunnah li an-Nisa, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah, 2008), hal. 86. [2] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, cet. ke-14, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hal. 208. [3] Hadits muttafaq ‘alaih. [4] Khalid bin Ali al-Musyaiqih, an-Nawazil Fi al-Ibadat, hal. 60. [5] Imam an-Nawawi, Shahih Muslim Bi Syarh an-Nawawi, (Kairo: Darul Hadits, 2001), cet. ke-4, jilid 3, hal. 236. [6] Imam asy-Syaukani, Nailul Authar, (Kairo: Darul Hadits, 2005) jilid 3, hal. 229. [7] Al-Utsaimin, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah. (Kairo: Dar Ibnu Haitsam, 2002), cet. ke-1, hal. 124. [8] Wahbah az-Zuhaili, al-Wajiz Fi al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Darul hadits, 2005), jilid 1, hal. 270. [9] Ibid, hal. 271 [10] Abu Malik Kamal, Fiqh Sunnah.. , hal.186. [11] Syaikh Muhamad bin Ibrahim, dkk. Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, (Riyadh: Adhwa as-Salaf, 2007) cet. Ke-2, jilid 1, hal. 424. [12] Ibnu Abdil Barr, at-Tamhid, (Kairo: al-Faruq al-Haditsah, 2008), cet. ke-4, jilid 4, hal. 357. [13] Mengakhiran shalat yg pertama, dan mengawalkan shalat yg kedua [14] Imam asy-Syafi’i, al-Umm, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2009), cet. ke-2, jilid 1, hal. 164. [15] Musa Salim al-Hajawi, asy-Syarh al-Mumti’ Ala Zaad al-Mustaqni’. (Kairo: Jannatul Afkar, 2008), jilid 2, hal. 198 [16] Lihat tafsir Ibnu Katsir, (Kairo: Maktabah Taufiqiyah), hal. 298. [17] Atsar adlh segala yg datang selain dari Nabi Saw., yaitu dari shahabat, tabi’in, / generasi setelah mereka [18] Ibnu Hajar al-Atsqalani, Fath al-Bari, (Kairo: Darul Hadits, 2004), jilid 2, hal. 49.

other source : http://viva.co.id, http://yuukiqueen.blogspot.com, http://cnn.com

0 Response to "Hukum Menjamak Shalat Bagi Orang Sakit"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *